Patah Hati Adalah Awal dari Transformasiku Menjadi Ubur-ubur


Hari ini tepat 28 hari aku menjadi gelandangan. Tolong jangan kasih selamat kepadaku karena ini bukan keberhasilan. Bagiku ini adalah nerakaku di dunia yang harus kulalui sendirian. Kenapa? Aku akan menceritakannya kali ini. 

Ubur-ubur adalah makhluk paling absurd di dunia ini menurutku. Namun juga paling luar biasa. Makanya, aku sangat mengidolakan makhluk ini, meskipun enggan bertemu secara langsung di dalam air. Apalagi pas lagi open water. 

Ubur-ubur bisa bertahan selama jutaan tahun tanpa perlu banyak berevolusi. Bisa dikatakan bahwa dia sudah sempurna untuk bisa berjuan selama jutaan tahun tanpa perlu menyesuaikan dan mengubah keadaan dirinya sendiri. Meskipun tidak punya otak, ubur-ubur mampu hidup dan terus beregenerasi sampai sekarang. Ubur-ubur bahkan berkembang biak secara vegetatif, jadi mereka bisa berkembang biak sendirian, gak perlu berdua.

Lalu, di sinilah aku, manusia yang menjadi ubur-ubur ketika patah hati.

Selama hampir 4 tahun ini, aku membangun hubungan menyenangkan dan juga tidak menyenangkan dengan seseorang. Seseorang yang sudah kuanggap bagian dari hidupku. Yang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa kupisahkan dari kisah hidupku. Mungkin harus diakui, kami memulai semua ini dengan salah. Tapi, kami bertahan. Kami sama-sama berusaha untuk bertumbuh dan menjadi lebih baik satu sama lain.

Sampai akhirnya, di satu titik, pertumbuhan kami tidak lagi seimbang. Aku, tetap berjalan maju ke depan. Dia, entah sejak kapan dia berhenti berjuang. Belum lagi kerikil-kerikil sandungan yang mungkin saja membuatnya terjatuh dan tidak mau bangun lagi. Aku merasa, disampingku sekarang hanya angan. Tidak lagi ada dia yang menggenggam tanganku. Aku berjuang sendirian.

Aku memaksakan diri untuk terus berjuang dan berusaha, supaya kami berdua bisa sama-sama maju ke depan. Namun dia tetap tidak bergeming. Sudah tidak ada lagi niatnya untuk berada di sampingku. Sialnya, aku gak tau sejak kapan hal itu terjadi. Aku, pada akhirnya menyakiti diriku sendiri. Dia? Tidak peduli, dalam pandangannya sekarang sudah tidak ada lagi aku disana.

Aku merasa tersiksa setiap hari. Rasanya seperti dipaksa makan makanan yang tidak aku sukai. Aku jadi boneka tanah setiap hari. Hingga rasanya aku sudah tidak sanggup. Dan melepaskan tangannya.

Rumah yang tadinya ku bangun, ku titipkan padanya, menghilang bersama dengan menghilangnya genggaman tangan ini. Rumah itu menghilang, beserta dengan seluruh pondasi dan daratan yang mendasarinya. Aku menjadi gelandangan seketika. Aku gak punya apa-apa, dan tidak ada tempat berpijak lagi.

Aku terjatuh ke lautan dalam, karena daratan yang tadinya kupijak, juga menghilang. Aku tenggelam karena aku gak bisa berenang. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap bertahan hidup, namun kadang gelombang datang dan menenggelamkan aku lagi.

Di hari ke-28 ini, gelombangnya lebih besar dari biasanya. Aku kehabisan tenaga, hingga yang kulakukan seharian ini hanya merengek saja. Merengek kepada diri sendiri yang juga sedang berjuang untuk bisa timbul ke permukaan lagi hanya untuk sedikit oksigen segar, supaya bisa berjuang lagi dalam balutan air.

Aku gelandangan yang sekarat, yang sedang berjuang bertahan hidup di tengah laut dari terpaan gelombang yang gak tau kapan datang dan kapan usai. Rasanya sesak, gak bisa bernafas. Aku sudah gak ingat siapa diriku sebelum aku jatuh dalam lautan ini. Yang kulihat hanya, samar-samar dia tertawa di daratan yang jauh dari jangkauanku. Dan mengundang siapapun untuk bertamu ke dalam rumah yang kami bangun sama-sama.

Aku gelandangan sekarat, yang bertahan hidup namun terus menelan pahitnya air garam.

Lalu aku teringat dengan ubur-ubur. Ubur-ubur pasti bisa bertahan di tengah kondisi seperti ini. Dia akan berenang bersenang-senang ke sana kemari justru ketika gelombang datang. Dan karena gak punya otak, dia pasti tidak akan peduli daratan ada dimana. Tentu dia juga gak akan kalah oleh arus gelombang kenangan masa lalu yang datang.

Sehingga, mungkin ini saatnya aku berevolusi menjadi ubur-ubur. Supaya aku juga bisa bersenang-senang ketika badaiku datang. Peduli setan daratan ada dimana, yang penting aku bisa hidup. Dan bersenang-senang meski sendirian. Meski hanya seorang gelandangan. 

Aku gelandangan sekarat, yang bercita-cita menjadi ubur-ubur.

Doakan aku.



Sebuah Legenda Tentang Kemping

 

Once upon a Time in a Neverland.

Apakah kalian percaya dengan Cinta Lokasi (Cinlok)? Kata mereka, cinta lokasi itu nyata. Banyak yang sudah mengalaminya, ketika kenghabiskan banyak waktu bersama-sama bisa membuat orang mudah sekali tertarik dengan lawan jenisnya. Bahkan, hal ini juga didukung satu pepatah Jawa :

"Witing tresno jalaran soko kulino."

Yang berarti, "Cinta tumbuh karena terbiasa". Namun buat saya ini bisa dilakukan dengan syarat dan ketentuan berlaku. Masih harus ada faktor-faktor tambahan supaya ini bisa kejadian. Bagi saya, itu mungkin saja terjadi jika dari awal saya menganggap orang tersebut menarik, saya tidak sedang terikat dengan siapapun dan begitu juga pihak lainnya.

Hanya saja, ada satu legenda yang beredar dikalangan pelaku-pelaku perjalanan dan yang hobbynya kemping. Berkemah. Atau bahasa kerennya Camping. Legenda ini entah asalnya darimana, namun sudah mampir di kuping saya sejak bertahun-tahun lalu, tepatnya ketika mulai kenal dengan teman-teman yang suka jalan dan suka "pindah tidur" di tempat-tempat yang menurut kami mampu mengisi kembali semangat kami untuk berkutat lagi dengan rutinitas.

Legenda tersebut adalah, jangan begadang dengan lawan jenismu -atau gender apapun yang menjadi ketertarikanmu- jika kamu tidak ingin terlibat dalam jatuh cinta spontan. Tetap bangun dan bertukar cerita hingga subuh bisa membuatmu jatuh cinta dengan siapapun yang saat itu bersamamu. Pada pukul 03.00 dini hari, lawan bicaramu akan terlihat lebih menarik. Kamu pun perlahan-lahan akan mulai merasa santai karena rasa kantuk yang dibendung. Lalu aliran cerita akan semakin intim dan tiba-tiba kamu merasa kamu mengenalnya luar dan dalam.

Jika kamu orang yang impulsif, bisa saja malam itu kamu menyatakan cinta. Kemudian esoknya bangun dengan kebingungan karena bisa-bisanya bangun dengan menggenggam tangannya.

Percaya gak?

Percaya gak percaya sih, tapi saya punya cerita nyata mengenai ini. Ketika saya paham betul bahwa saya pernah jatuh cinta dengan seseorang, saat sedang kemping bersama dengan teman-teman lainnya. Teman-teman yang sudah seperti saudara sendiri sehingga untuk jatuh hati seakan tidak mungkin.

Namun, nyatanya malam itu, angin bertiup ke arah sebaliknya.

Malam itu, saya letih seletihnya. Karena baru saja sorenya pulang dari kota tetangga, kemudian langsung pergi menempuh jarak sekitar 120km lagi untuk bergabung dengan teman-teman yang lain. Kami punya agenda Persami (perkemahan sabtu-minggu) hari itu, jadi karena saya tidak ingin ketinggalan kesenangan, saya menyusul.

Sekitaran pukul 01.00 dini hari setelah habis suara dan tenaga untuk bercengkrama dengan yang lain, saya memutuskan untuk masuk ke tenda. Entah tenda siapa, karena saat itu tenda siapapun jadi milik siapapun. Siapa yang duluan masuk, dia boleh tidur disana. Namun, sayangnya, saya tidak bisa tidur. Sangking capeknya mungkin.

Lalu ada dia. Kami memang tidak terlalu akrab. Kami dari kota yang berbeda, sehingga jarang bertegur sapa. Namun, malam itu, dia duduk di dekat tenda tempat saya tidur. Sepertinya berada tidak jauh dari kepala saya. Dia memainkan gitarnya dengan baik sekali. Dia seakan mengiringi sayup-sayup suara teman-teman yang masih belum tidur. Dan saya merasakan hati ini menghangat.

Sepanjang malam, sampai pagi hari, dentingan suara gitarnya mengiringi saya menenangkan diri. Mungkin tidak benar-benar tidur, namun, setiap terbangun, dia ada. Dia tidak tidur dan dia tetap disitu. Meskipun saya tidak melihatnya, atau mendengarnya bicara, malam itu saya merasa mengenalnya lebih banyak. Dan satu-satunya yang bisa berkomunikasi lewat hal itu, adalah dia.

Hanya hal sepele seperti itu saja, bisa membuat saya terbangun di pagi hari dan melihatnya dengan pandangan yang berbeda dengan sebelumnya. Jauh berbeda. Saya ingin tahu lebih banyak lagi tentangnya. Lebih mengenalnya. Dan seterusnya.

Cerita ini akan indah jika pada akhirnya saya dan dia bersama. Tapi tidak. Kami tidak bersama. Menjadi lebih dekat, iya. Lebih mengenalnya, iya. Tapi tidak ada hal romantis yang terjadi diantara kami berdua. Ada banyak versi yang beredar di sekeliling pertemanan kami, mengenai kedekatan kami, keterbukaan saya tentang dia dihadapan semuanya meskipun hanya dianggap main-main saja, padahal sungguh saya segamblang itu mengatakan bahwa dia spesial. Hanya saja manusia suka aneh, kadang ketulusan dan keterbukaan justru dianggap bercanda saja.

Sekarang? Ya, begini saja. Cukup saja hal ini saya yang ingat dan mengenangnya. Sudah bertahun-tahun pula berlalu, dan saya putuskan untuk membiarkannya menjadi cerita yang indah dan tetap hangat sampai kapanpun saya ingin mengingatnya lagi. Sudah bertahun-tahun berlalu, dan banyak pengandai-andaian juga yang muncul. Namun, jika kamu pernah begitu menginginkan sesuatu, tapi tidak berani memiliki karena takut jika kamu miliki ternyata hal itu tidak seperti yang dibayangkan di kepala, maka kamu paham apa yang saya rasakan sekarang.

Cerita indah sampai kapanpun hanya akan menjadi cerita indah. Saya akan menjaganya agar tetap menjadi cerita indah.

Jadi, mau percaya atau tidak soal legenda tersebut, silahkan. Tapi, kalau memang punya waktu dan tenaga lebih, serta butuh sesuatu yang berbeda, coba saja. Siapa tau, angin akan berhembus ke arah sebaliknya, padamu juga. 

Salam hangat,
FDP.


Who Were You Before They Broke Your Heart?


Siapa kamu sebelum mereka menyakiti hatimu? 
Sebuah pertanyaan sederhana yang belakangan ini mulai mengusik di dalam pikiran. Sering sekali, sehingga saya harus menguraikannya menjadi sebuah tulisan. Jadi, harap maklum kalau lagi-lagi kali ini saya mulai meracap tidak karuan.

Saya juga akhirnya lalu menelaah kembali. Siapa saya sebelum seseorang mematahkan hati saya? Siapa saya sebelum saya jatuh cinta kepada seseorang? Perubahan seperti apa yang dilihat orang? Pernahkan kita mempertanyakan itu dan mendapatkan jawabannya yang pasti?

Atau, sebenarnya kita sendiri sama sekali tidak pernah mengingat siapa diri kita.

Pertanyaan tersebut kemudian menjadi semakin sulit dijawab. Saya susah mengingat kembali siapa saya dulu. Siapa saya sebelum seseorang tersebut mengisi hari saya. Sebelum akhirnya menjadi bagian dari diri saya, membawa perubahan kecil. Setiap hari. Selalu begitu, hingga akhirnya ketika saya sadar dan menoleh kebelakang, saya bingung, dari mana saya mulai berubah.

Bagian mana dari detik-detik yang berlalu kemudian mengantarkan saya pada titik ini. Titik dimana saya berdiri sekarang. Naif rasanya jika kemudian kita bertanya kembali "Apakah saya menyesal?" karena sadar tidak sadar kaki kita sendirilah yang menuntun kita hingga sampai di tempat ini.

Diinginkan atau tidak, semua mengalami perubahan.

Sehingga, jika ditanya kembali "Siapa saya sebelum seseorang mematahkan hati saya?" Mungkin akan banyak hal terucap. Mungkin kemudian saya berandai-andai. Saya berfikir jauh ke belakang dan mungkin saja akan ada banyak senyuman karena kejadian-kejadian membahagiakan yang terlintas. Tapi, pada dasarnya saya tidak akan bisa memastikan siapa diri saya saat itu.

Karena identitas diri dan masa kini adalah dua hal yang tidak bisa dilepaskan.

Waktu membawa kita semua menjadi pribadi yang terus berkembang secara fisik. Manusia-manusia yang kita temui, satu persatu, disadari atau tidak memberikan sebagian kecil bagian hidupnya dalam aliran perjalanan hidup kita. Menjadi satu dengan tubuh kita, dan kemudian tidak bisa dihindari lagi. Kita adalah insan yang terbentuk atas kehadiran insan lain.

Saya yakin, begitulah sebenarnya manusia menanamkan eksistensinya dalam dunia ini. Menorehkan bagian dirinya dalam cerita kehidupan orang lain. Hingga nanti, meskipun kita meninggalkannya -atau ditinggalkannya, bagian itu akan tetap hidup, tinggal seberapa dalam torehannya saja yang membuat perbedaan. Apakah sanggup untuk terus dikenang, atau digantikan begitu saja dengan eksistensi orang lain yang ikut menorehkan bagiannya.

Bahwa sejatinya kita semua hidup dalam jalinan ikatan aliran tidak kasat mata yang menghubungkan satu sama lain. Semua diatur begitu teliti hingga ke mikro atau bahkan nano-second oleh sang Pencipta.

Sehingga, jejak apapun yang tertinggal di dalam diri kita harus kita terima sebagai bagian dari diri kita sendiri, seharusnya kita tidak bertanya "Siapa kamu sebelum mereka mematahkan hatimu?" lagi. Tapi bertanyalah :

"Apakah setelah kamu menerima bagian hidup dari semua orang itu, dirimu menjadi lebih baik?"
Marilah kita sama-sama mempersiapkan diri untuk menyambut perubahan. Karena mau atau tidak, disadari atau tidak, kita adalah makhluk yang selalu berproses. Ke arah yang baik atau yang buruk kah? Itu kemudian menjadi pilihan.

Salam,
FDP.

Kisah Sebatang Pensil

Si anak lelaki memandangi neneknya yang sedang menulis surat, lalu bertanya,

"Apakah Nenek sedang menulis cerita tentang kegiatan kita? Apakah cerita itu tentang aku?"

Sang nenek berhenti menulis surat dan berkata kepada cucunya,

"Nenek memang sedang menulis tentang dirimu, sebenarnya, tetapi ada yang lebih penting daripada kata-kata yang Nenek tulis, yakni pensil yang Nenek gunakan. Mudah-mudahan kau menjadi seperti pensil ini, kalau kau sudah dewasa nanti."

Si anak lelaki merasa heran; diamat-amatinya pensil itu, kelihatannya biasa saja.

"Tapi pensil itu sama saja dengan pensil-pensil lain yang pernah kulihat!"

"Itu tergantung bagaimana kau memandang segala sesuatunya. Ada lima pokok yang penting, dan kalau kau berhasil menerapkannya, kau akan senantiasa merasa damai dalam menjalani hidupmu.

"Pertama, kau sanggup melakukan hal-hal besar, tetapi jangan pernah lupa bahwa ada yangan yang membimbing setiap langkahmu. Kita menyebutnya tangan Tuhan, dan Dia selalu membimbing kita sesuai dengan kehendak-Nya.

"Kedua : Sesekali Nenek mesti berhenti menulis dan meraut pensil ini. Pensil ini akan merasa sakit sedikit, tetapi sesudahnya dia menjadi jauh lebih tajam. Begitu pula denganmu, kau harus belajar menanggung beberapa penderitaan dan kesedihan, sebab penderitaan dan kesedihan akan menjadikanmu orang yang lebih baik.

"Ketiga : Pensil ini tidak keberatan kalau kita menggunakan penghapus untuk menghapus kesalahan-kesalahan yang kita buat. Ini berarti, tidak apa-apa kalau kita memperbaiki sesuatu yang pernah kita laukan. Kita jadi tetap berada di jalan yang benar untuk menuju keadilan.

"Keempat : yang paling penting pada sebatang pensil bukanlah bagian luarnya yang dari kayu, melainkan bahan grafit di dalamnya. Jadi, perhatikan selalu apa yang sedang berlangsung di dalam dirimu.

"Dan akhirnya, yang kelima : pensil ini selalu meninggalkan bekas. Begitu pula apa yang kau lakukan. Kau harus tahu bahwa segala sesuatu yang kau lakukan dalam hidupmu akan meninggalkan bekas, maka berusalah untuk menyadari hal tersebut dalam setiap tindakanmu."


Di tulis ulang dari :
Seperti Sungai yang Mengalir - Paulo Coelho.
Buah dari pikiran dan renungan.

Semoga saya bisa menjadi pensil yang tulus dalam menjalani perannya di muka bumi ini. Dan semoga cerita ini juga bisa menginspirasi siapapun yang membacanya, seperti dia menginspirasi saya. Untuk tetap berjuang, karena Gusti Allah mboten sare. :)

Salam hangat,
FDP.

Cerita Tentang Sang Putri, Seekor Kucing dan Bunga Dandelion.[Chapter : 2]

Pada suatu masa setelah kedatangan sang kucing. Istana tersebut masih saja dihuni oleh seorang putri yang manis yang menjaganya dengan penuh kasih sayang. Namun, jika diteliti lebih jauh, ada perubahan yang terjadi di sana.

Iya, bahkan sang rusa, kelinci dan tupai pun mengakuinya. Sang putri tampak jauh lebih ceria. Setiap hari dia menunggu kedatangan sang kucing sambil bersenandung kecil di teras istana. Benar saja, menanti sang kucing menambah rutinitas harian sang putri. Sepertinya Sang Kucing mampu mengalihkan fikiran sang Putri dari kejenuhan.

Ketika Matahari tepat berada di pucuk kedua pohon cemara yang berada di hutan sebelah Timur, sang kucing datang dan langsung menuju sang putri sambil membawa senyuman.

"Selamat pagi, Tuan Kucing. Bagaimana tidurmu semalam tadi?" Sang Putri menyapa riang.

"Seperti biasa, aku bermimpi indah, Putri." Sang Kucing membalasnya dengan senyum.

"Aku menunggumu."

"Aku tahu. Dan aku tepat waktu seperti biasa, bukan?"

Sang Putri tersenyum. 

Rutinitas baru Sang Putri sekarang tidak hanya menunggu Sang Kucing mengunjunginya. Tapi, sang Kucing juga ikut berkeliling menyapa pohon dan hewan lain di hutan. Awalnya sang Putri hanya ingin mengenalkan Kucing kepada para penghuni hutan, namun ternyata menjadi sebuah kebiasaan baru bagi penghuni hutan untuk menyapa Sang Kucing pula. Akhirnya sang Kucing selalu ikut berkeliling dengan Sang Putri. 

"Lalu, hari ini apa yang akan kamu ceritakan padaku?" Kata Sang Putri.

Selain selain ikut menyapa penghuni hutan, Sang Kucing juga selalu menceritakan pengalamannya selama mengembara. Sang Kucing bercerita banyak hal kepada Sang Putri. Tentang Manusia yang dia temui, monster pemakan rumah, kupu-kupu bercahaya, dan semua hal yang bahkan belum pernah di dengar oleh Sang Putri.

"Kali ini aku akan bercerita tentang Liliput yang membuat biskuit terenak di dunia." Sang Kucing mulai menceritakan kisah hidupnya.

Sambil bersandar dengan nyaman di sebuah batang pohon Mahoni di tengah taman istana, Sang Putri mendengarkan dengan seksama. Sesekali ia memekik takut, atau tertawa terbahak-bahak atas hal yang di dengarkan. Sang Kucing selalu bisa menceritakan kisahnya dengan seru. Dan dia tidak akan berhenti bercerita kecuali Matahari mulai tenggelam di ufuk Barat.

Begitulah, Sang Kucing membawa warna baru di Istana tersebut. Semua menyukainya. Hari-hari  Sang Putri kini berubah. Dan dia sangat menyukainya. Dia berharap, Sang Kucing selalu menemaninya dan kebahagiaan tersebut berlangsung selamanya.

***

[Tentang] Compassion

source : Pinterest

Saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri. Ketika ingin menulis, maka saya harus segera menulis tanpa menundanya lagi. Maka, disinilah saya. 40 menit sebelum pergantian angka yang menjadi momok bagi kehidupan saya, saya ingin curhat securhat-curhatnya.

Akhir 2016 sampai sekarang di awal 2017 ini. saya cukup sedih melihat keadaan sekitar saya. Khususnya sosial media. Tiada hari tanpa kebencian yang dilalui disana. Selalu saja ada satu atau bahkan lebih tulisan yang di publish menyuarakan kebencian dan propaganda. Saya yakin, diusut ke atas-atasnya pun ini semua berkaitan. Tidak lain tidak bukan adalah kepentingan politik. Pilkada.

Saya tidak perlu menceritakan detailnya, tapi saya tetap merasa bahwa satu saja yang dibutuhkan untuk semua ini mereda. Compassion. Belas kasih. Dan empati. Hal itu memang sama sekali tidak mudah. Karena itulah, hasil akhirnya indah. Memang, yang indah-indah itu jadi berarti karena tidak mudah digapai.

Compassion.
English to English
noun
1. a deep awareness of and sympathy for another's suffering
source: wordnet30
2. the humane quality of understanding the suffering of others and wanting to do something about it.
source: wordnet30
3. Literally, suffering with another; a sensation of sorrow excited by the distress or misfortunes of another; pity; commiseration.

Mungkin, akhirnya jika disandingkan dengan kosakata Indonesia, Compassion mirip dengan Empati. Empati sendiri adalah kemampuan dengan berbagai definisi yang berbeda yang mencakup spektrum yang luas, berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk menolong sesama, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan, mengaburkan garis antara diri dan orang lain.. Jadi, bisa dikatakan bahwa empati berarti dapat melihat dari perspektif orang lain dan ikut merasakan kebahagiaan atau kesedihan yang dirasakannya, sehingga timbul keinginan untuk mengerti, bahkan menolong orang tersebut.

Masalahnya adalah, belakangan ini kita semua terlalu egois sehingga lupa berempati kepada siapapun. Terutama kepada orang yang berbeda dengan kita. Tidak usah mengelak, saya juga kok. Saya merasakannya ketika kepentingan golongan lebih utama dibandingkan rasa kemanusiaan untuk tetap menilai manusia sebagai makhluk yang setara.

Karena kebanyakan semuanya merasa menjadi yang paling benar. Sehingga yang tidak sependapat dengannya adalah kesalahan besar. Sementara dia lupa, kebenaran itupun sebenarnya bersifat relatif ketika menyangkut kepentingan golongan. Ini pendapat subjektif saya saja, karena jika sebuah pertanyaan terlontar. *anggap saja kalian tau siapa yang saya bandingkan*

Satu orang yang mulutnya kasar, perangainya buruk dan suka mencela, namun beliau adalah orang dalam kelompokmu. Dibandingkan dengan satu orang yang mulutnya kasar, perangainya buruk dan suka mencela, dan dia bukan dari golonganmu.

Kamu akan membela siapa? Ketika keduanya berada didepanmu dan harus kamu selamatkan salah satunya. Ketika yang satu selamat yang satu mati. Kamu akan menyelamatkan siapa? Keduanya bermulut kasar, berperangai buruk dan suka mencela.

Saya yakin lebih dari 50% akan menjawab, orang yang berada dalam golonganmu sendiri. Iya kan? Untuk itu, disinilah empati itu berperan. Kenapa tidak mencoba melihat dari perspektif mereka berdua. Selalu ada latar belakang dari semua masalah. Dan ketika kamu bisa mulai melihat dari sudut pandang mereka, maka semuanya akan terlihat benar.

Kemudian, kamu akan berhadapan dengan hati nuranimu sendiri. Siapa yang akan kamu selamatkan?

Kalau saya? Saya akan menyelamatkan yang membawa kebaikan bagi orang banyak ketika dia diberi satu kesempatan hidup. Yang akan memberikan manfaat kepada orang lain dalam hidupnya tanpa mementingkan dirinya sendiri. Katakan salah pada yang salah dan katakan benar kepada yang benar, tanpa melihat status golongan, ras bahkan agama.

Inilah yang tidak dimiliki oleh masyarakat penghuni sosial media belakangan ini. Yang sudah jelas-jelas tidak punya kerjaan lain selain menebarkan kebencian hingga mencoreng nama baik golongannya sendiri. Tapi, saya sih maklum. Mereka sedang tidak sadar ketika melakukannya, mereka anggap itu benar, tetapi mereka tidak mencoba melihat dari berbagai sudut pandang. Sehingga, apa yang salah di mata mereka, itu pasti salah meskipun sebenarnya akan membawa kebaikan bagi banyak orang.

Hanya saja, mari kembali kepada kebenaran bersifat relatif itu tadi. Ketika semuanya menganggap pikirannya adalah yang paling benar, maka sebenarnya siapa yang paling benar? Kita melupakan satu hal. Salah benar seorang manusia itu di mata negara, adalah berlandaskan hukum yang berlaku. Mari kembalikan kepada hukum saja. Tidak perlu kita yang teriak-teriak ini itu. Percayakan pada peraturan yang sudah ditetapkan. Sehingga ketika dia salah, maka dia salah. Dan ketika dia benar, maka yang terjadi seharusnya adalah kita bisa legowo soal itu semua. Jangan kemudian memaksakan pendapat, merasa bahwa penilaiannya jauh diatas hukum yang berlaku.

Sekalian bikin negara baru aja kenapa, biar gak nyusahin yang lain yang patuh sama hukum yang ada.

Begitulah. Karena berempati adalah pekerjaan berat membutuhkan otak yang luar biasa imajinatif. *saya biasa menyebutnya cerdas* saya memaklumi saja jika tidak banyak yang bisa melakukannya. Saya suka melakukannya, meskipun itu sama sekali tidak berarti saya sedang mengakui diri saya sendiri cerdas, #uhuk.. Karena dengan begitu saya bisa belajar bahwa apa yang terjadi di hidup saya, orang lain bisa mengalaminya 100x lipat lebih buruk. Itu membantu saya bersyukur.

Tapi, harapan saya adalah semoga ini semua segera berakhir ketika pilkada DKI benar-benar usai. Saya harap siapapun yang terpilih nantinya akan mengemban amanah dan menjalankan apa yang paling bermanfaat untuk masyarakat luas. Itu saja.

Dan bagi para netizen yang mendedikasikan hidupnya untuk ngoceh di sosmed *termasuk saya*, saya mohon, dalam waktu luang kalian, belajarlah berempati. Caranya? Mungkin dengan banyak menonton film drama kehidupan. Posisikan diri kalian sebagai penderita. Jika kalian bisa merasakan kesedihannya, kalian sukses menimbulkan bibit empati di dalam diri kalian. Sisanya tinggal berlatih, dan jangan lupa aturan dasarnya. Berguna untuk banyak orang tidak peduli ras, golongan bahkan agama.



Salam.
FDP.
*yang 5 menit lagi akan menginjak tahun ke 29-nya.*



P.S : Tulisan ini banyak disusupi pemikiran seseorang yang menjadi inspirasi saya. Semoga saya terus menjadi manusia yang lebih baik lagi, bahkan untuk manusia lainnya. Terima kasih. :)

Kucing Itu Memilihmu. Bukan Kamu Yang Memilih Kucingmu.



Kucing.

Siapa yang tidak mengenal makhluk kecil berbulu yang menggemaskan ini? Sebagian bahkan memujanya, termasuk saya, sebagian lagi mencemoohnya. Kadang saya suka bingung terhadap mereka yang mempunyai rasa traumatis sendiri kepada kucing. Padahal, dibanding manusia kucing itu tidak berdaya apa-apa. Sehingga rasa takut yang disebabkan oleh kucing sangat tidak masuk akal buat saya.

Ada sebuah teori yang tidak sengaja saya baca -atau mungkin saya dengar- di suatu artikel. Bahwa kucing sebenarnya bukan hewan yang bisa kita pelihara begitu saja. Berbeda dengan anjing, anjing adalah mesin pecinta alami. Sekali saja kamu menunjukkan kasih sayang kepada mereka, mereka akan mencintaimu seumur hidup mereka. Jika kamu bisa memilih anjing mana yang mau kamu bawa pulang, namun kucing tidak.

Kucing yang memilihmu.


Sebenarnya saya percaya bahwa kucing memang makhluk angkuh penuh kesinisan dalam menjalani hidup ini. Kucing juga makhluk yang penuh kebebasan. Termasuk dalam bersikap. Ada beberapa kucing yang memang bisa dilatih. Tapi kebanyakan tidak. Mereka tidak pernah ambil pusing dengan peraturan. Yang mereka tau adalah bagaimana cara meminta makan yang baik dan tepat sasaran. Dan bagaimana cara mendapatkan kasih sayang dari pemiliknya.

Tidak. Maksud saya adalah, kucing yang memilikimu.

Kucing itu memang makhluk paling mengerti akan kecantikan dan keanggunannya. Dan mereka tau bagaimana cara menggunakan aset tersebut untuk menguasai manusianya. Sebut saja, bagaimana dia menggelendot manja di kakimu sambil memancarkan binar pengharapan dari kedua matanya yang bulat dan berpendar-pendar. Siapa yang bisa menolak wajah polos itu. Tentu saja, sebagai pemeliharanya, kamu pasti akan memberikan apa yang dia mau.

Ketika dia ingin disayang, dia akan mendekatimu. Ketika dia bosan disayang, dia akan pergi begitu saja. Dipanggil seperti apapun dia tidak akan menoleh, tapi ketika dia memanggilmu, dari sudut ruangan paling jauhpun kamu akan mendatanginya dengan segera.

Lalu, siapa yang memiliki siapa kalau begini?

Manusia sering jemawa berkata memiliki beberapa kucing dirumahnya yang bisa menghiburnya ketika dia sedih. Kenyataannya adalah kucing lah yang memilih akan berada di rumah siapa untuk tidur dan meminta makan. Apa kamu bisa melarangnya? Tidak. Ingat, mereka tidak mengenal aturan. Kebebasan adalah prinsip dasar para kucing.

Kucing yang mau tinggal denganmu adalah kucing yang memilihmu menjadi pengasuhnya. Jika dia merasa tidak puas dengan pelayananmu dia bisa saja meninggalkanmu pergi tanpa ampun. Kucing itu jahat, meskipun beberapa memang setia. Tapi, saya tetap percaya itu hanya karena kamu melayaninya dengan baik, sehingga dia memilih untuk tinggal.

Namun, meskipun begitu, meskipun diperbudak tanpa pamrih oleh para keparat kecil tersebut, meskipun kadang jengkel ketika mereka menghambur-hambur barangmu, atau bahkan suka iseng buang air sembarangan, kamu tetap akan memaafkannya bukan? Karena, semua kenakalan itu setimpal dengan kenyamanan yang mereka berikan. Karena, tatapan mata penuh pesona itu yang akan kamu rindukan ketika jauh dari rumah. Meskipun anjing memang lebih setia, namun kucing mempesona. Dan semua hal-hal buruk yang kucing lakukan, akan luruh ketika mereka mendengkur pelan dan mengeong manja. Kamu tidak bisa marah kepada yang kamu cintai. Para kucing mengetahuinya, dan memanfaatkannya dengan benar.

Karena mereka sudah memilihmu. Dan kamu pun bahagia karena mereka memilihmu. Bagi saya, itu terlihat sebagai simbiosis mutualisme. Siapa yang akan memperbudak siapa, itu tidak masalah. Karena cinta selalu begitu. Karena cinta tidak peduli itu semua. Seperti saya yang terjebak oleh cinta 3 ekor kesayangan saya.

Besok-besok akan saya ceritakan di sini. My Three MusCATeers. :D

Salam sayang,
Dari Io, Titan juga Artemis.
Dan FDP juga. :)

300 Kata : My Alter Ego



Holla!

Saya terpaksa menulis satu post yang gak penting ini karena tuntutan dari desain layout baru yang barusan aja saya ganti. [tercatat 14 Januari 2017, pukul 9 PM] Yes. I guess I'm getting serious about this writing things. Blog ini merupakan alter ego saya sebagai blogger yang emang dari jaman dahulu kala sekali ketika pertama kali nge-blog, tidak pernah jelas ingin dibawa kemana tulisan-tulisan saya ini.

Aniway, 

Alter ego (bahasa Latin yang berarti "aku yang lain") merupakan diri kedua yang dipercaya berbeda daripada orang kebanyakan atau kepribadian yang sebenarnya. Istilah ini dipakai pada awal abad kesembilan belas ketika gangguan pemecahan kepribadian pertama kali dijelaskan oleh psikolog.
Jadi, bukan berarti saya berkepribadian ganda ya, tolong dicatet. Sebenarnya 300 Kata sendiri adalah bagian dari diri saya. Mengingatkan saya bahwa soal konsistensi menulis itu memang berat. Bisa dilihat dari kapan saya mencoba konsisten, dan bisa dilihat juga hasilnya sekarang apa. :D

Ini adalah deskripsi utama 300Kata bagi saya.

Tantangan terhadap diri sendiri untuk bisa konsisten posting minimal 300 kata setiap hari, tentang apapun, tentang siapapun, tentang dunia, tentang kamu, tentang kita, tentang semua.

300 Kata, pada dasarnya adalah wadah saya untuk terus bisa menuangkan pikiran-pikiran saya yang liar dan memenuhi kapasitas otak. Inginnya, semua pikiran yang gak tentu arah ini tidak mengganggu stabilitas kerja otak saya yang suatu saat nanti saya yakini bisa menimbulkan penyakit kejiwaan jika dibiarkan. Kita semua pasti punya sebuah sarana untuk membiarkan diri kita tetap waras. Dan untuk saya, kebetulan saja hal itu adalah menulis.

Kemudian, 300Kata sendiri mempunyai 3 tema utama yang bahkan saya buatkan navigasi menunya untuk memudahkan. Yaitu [tentang] yang berisi pandangan saya dalam mengartikan sesuatu. Tidak melulu deskriptif dan obviously subjective. Jadi, saya harap semua postingan [tentang] saya jangan dimasukkan sebagai referensi tulisan apapun yak. :D

Lalu ada Random yang diakui sebagai buah dari "pemikiran liar". Ayolah.. energi negatif itu harus dibuang. Dan saya juga sedang berusaha membuat postingan Fiction, yang biasanya merupakan harapan-harapan terselubung saya terhadap sebuah kejadian. Atau kehidupan saya.

Dan sejak 2017 ini, saya terobsesi dengan keinginan untuk bisa menulis dalam bahasa Inggris. Jadi, saya buat seksi English sebagai wadah latihan saya. Dan saya dengan senang hati menerima masukan. Tolong ketika ada salah penulisan, dikoreksi aja. [yakali, kaya ada yang baca] sementara masih nol tulisan. Semoga bulan depan udah pede nulis dalam English. Ehe.

Well. Begitulah. Saya akan berusaha untuk konsisten. Jadi, selamat menikmati. :)


Salam hangat,
FDP.


Cerita Tentang Sang Putri, Seekor Kucing dan Bunga Dandelion.[Chapter : 1]

Pada suatu masa, hiduplah seorang putri yang tinggal dalam kastilnya yang mungil di dalam hutan, seorang diri. Sang putri yang selalu tersenyum manis itu tidak pernah mengeluh akan kesendiriannya, namun jauh di dalam lubuk hatinya dia tahu, dia sudah mulai lelah untuk selalu tersenyum. Tetapi, dia pun tahu, akan ada banyak pohon yang bersedih jika dia tidak tertawa, dan akan ada banyak kelinci, rusa kecil dan burung yang berduka ketika dia tidak menyandungkan lagu-lagu bahagia.

Dan dia pun takut, ketika dia berhenti tersenyum, dia tidak akan bisa tersenyum lagi. Padahal, itu satu-satunya cara agar hutan tersebut tetap terjaga dengan indah.

Suatu hari, ketika ia sedang berjalan menyapa satu persatu pepohonan yang rindang di sekeliling istananya seperti biasa, dia menemukan seekor kucing yang menatapnya di balik pohon yang paling besar. 

Ketika Putri hendak mengulurkan tangannya untuk menyapa, sang kucing mendesiskan ancaman yang menyiratkan sebuah penolakan. Sang putri bergeming.

"Wahai kucing malang, apakah kamu sedang tersesat? Kemarilah, aku tidak akan melukaimu." Sapa Sang Putri, lembut.

Kucing tersebut masih menatap dari balik pohon dengan tatapan yang meragukan. Namun, karena senyuman sang Putri dan kehangatan yang terpancar dari balik tangannya yang menggapai, sang kucing memberanikan diri keluar dari persembunyiannya.

"Aku tidak tersesat. Aku hanya seekor kucing pengelana yang pemalu. Hutan indah ini menarikku masuk, dan aku tidak pernah tahu kalau akan ada manusia disini. Aku benci manusia." Kata sang kucing.

Sang Putri kembali tersenyum.

"Aku juga membenci mereka. Mereka makhluk yang egois. Kau pikir, kenapa aku mau tinggal di sini, seorang diri?" Tangan sang putri masih tergantung di sana, menunggu sang kucing untuk menyambutnya.

Ragu-ragu, kucing akhirnya menyambut uluran tangannya. Cepat saja. Mungkin di dalam hatinya masih ada perasaan waspada. Namun, dengan sigap sang Putri menarik sang kucing untuk duduk di pangkuannya.

"Jika kamu tidak mempercayai manusia, kamu cukup percaya padaku saja. Aku tidak akan pernah menyakitimu."

Dan itu menjadi awal mula persahabatan antara sang Putri dan Sang Kucing.

***

Renungan Akhir Tahun 2016


"Time won't make you forget. It'll make you grow and understand things."
Hai, bertemu di penghujung tahun. Entah apa yang menghalangi saya menulis, namun, ya, tahun ini saya sedikit sekali melimpahkan keluh kesah dalam sebuah tulisan. Seperti misalnya saya yang selalu saja berekspektasi sedikit berlebihan dan kemudian kecewa. Mungkin sebenarnya saya hanya tidak ingin tulisan saya berkutat di itu-itu saja. Dengan kondisi kejiwaan yang tidak berkembang, sehingga tulisan saya penuh dengan aura negatif.

Baiklah, malam ini saya tidak ingin terseret kesedihan. Jadi curhatnya harus berhenti sampai sini.

Kemudian, bagaimanapun soal penghujung tahun selalu menyisakan sedikit kesedihan dalam hati. Karena tahun ini akan pergi dan tak kembali. Padahal, sebenarnya setiap hari, setiap jam dan setiap detik yang pergi tidak akan mungkin kembali. Lalu, kenapa sedihnya hanya hari ini?

Sebenarnya kesedihan itu adalah representatif dari rasa kesal karena harus menua. Saya mungkin bisa mengerti perasaan artis yang bersikeras mengusahakan mati dengan cara yang salah ketika mereka sedang berada dalam puncak popularitas karena ketakutan mereka untuk bertumbuh dan ketakutan mereka untuk kehilangan.

Karena, jujur saja. Saya pernah merasakan ketika berada dalam puncak kebahagiaan saya, saya ingin waktu saya berhenti sampai situ saja. Namun tidak. Waktu itu jahat. Dia tidak peduli siapapun. Dia hanya terus berjalan saja menyeret kita semua, mau atau tidak, rela atau tidak, sampai akhirnya sisa waktu kita habis. Kemudian, kebahagiaan itu pun menurun bekasnya melalui waktu. Terkikis perlahan-lahan dengan perasaan lain, dan kemudian menghilang.

Siapa yang siap akan kehilangan? Tidak ada yang pernah siap dengan perpisahan. Tidak di mulut, tidak pula di hati. Namun, sekali lagi, waktu tidak peduli. Dia hanya akan terus berjalan maju meninggalkan semuanya, dan menyeret segalanya untuk tetap ikut dalam arusnya. Tidak apa, itu tugasnya. Memang harus seperti itu.

Tapi, sebenarnya waktu juga baik. Karena dengan adanya waktu, kita bisa memiliki harapan. Memiliki kepercayaan terhadap keajaiban masa depan. Memiliki keinginan dan memacu untuk lebih sabar menunggu sesuatu yang lebih indah. Padahal, kita tidak pernah tahu apa waktu akan membawakannya atau tidak. Setidaknya, bagi manusia ini, mereka tidak kehilangan harapan dan itulah yang membuat mereka lebih kuat.

Waktu juga menyulitkan saya. Tepatnya, nanti dia akan sangat mempersulit hidup saya. Ketika saya harus menghadapi kenyataan, memilih antara yang tercinta atau yang paling dicinta. Yang satu digenggam, yang satu akan menghilang. Saya tahu, 2017 tidak akan mudah bagi saya. Tapi, setidaknya ruang hati saya masih percaya pada harapan. Bahwa waktu tidak akan peduli kepada luka saya, dia akan terus konsisten dengan detaknya. Dan saya, berharap bisa menitipkan duka saya dalam lantunan arusnya.

2016.

Terima kasih atas semua kebahagiaan, obsesi yang terpenuhi, rasa cinta, kasih sayang, permusuhan, kegagalan, dan banyak hal lainnya. Terima kasih sudah membuat saya bertumbuh, dan berkembang. Meskipun mungkin kedewasaan saya kali ini hanya berubah lebih banyak seujung kuku daripada sebelumnya. Tidak apa, kadang, selain menua saya juga takut menjadi semakin menyebalkan karena sok tahu. Tapi, saya akan menganugerahkan predikat tahun terbahagia saya di 2016. Karena sudah sepantasnya begitu. Terima kasih.

2017.

Saya tidak akan berharap banyak. Tapi, saya akan berjuang. Mungkin tidak akan jadi anak manis selama setahun penuh, namun saya akan berusaha semampunya.

Selamat Tahun Baru 2017.
Semoga semuanya menjadi lebih baik.

Salam,
FDP.